06 Juli 2012

Analisis Kritis Artikel "Buat Apa Sekolah?"

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mendengar kata “sekolah” tanpa berpikir panjang, seorang akan terbayang suatu tempat yang digunakan untuk praktik belajar dan mengajar. Kata “sekolah” pada umumnya memang diacukan pada suatu sistem, suatu lembaga atau suatu organisasi besar, dengan segala kelengkapan perangkatnya, sejumlah orang yang melakukan kegiatan belajar dan atau mengajar, sederet gedung dengan label nama ruang yang berbeda-beda, kecakupan peralatan, rangkaian jadwal kegiatan, struktur organisasi, aturan-aturan yang harus dipatuhi, dan sebagainya.

Dalam artikel pendidikan yang berjudul “Buat Apa Sekolah” penulisnya, Yosep Gobai, memaparkan bahwa sekolah yang terdapat di Indonesia merupakan sekolah kapitalistik. Hal ini didasarkan pada fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa salah satu alat keberhasilan seseorang bersekolah adalah sejauh mana dia mampu membawa dirinya pada status sosial yang tinggi di masyarakat. Jika seseorang yang telah lulus menempuh jenjang pendidikan lulus dan setelah itu menganggur, dia telah gagal bersekolah. Persepsi semacam inilah yang berkembang di masyarakat kita. 

Tidak hanya itu, menurut Yosep Gobai, masyarakat memandang dunia pendidikan (sekolah) sampai hari ini seperti layaknya sebagai institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS). Indikasi dari pandangan tersebut bisa dilihat bagaimana animo masyarakat yang cukup tinggi ketika pembukaan pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS). Seolah-olah status/gelar akademik yang mereka capai hanya cocok untuk pekerjaan kantoran (PNS). Hal inipun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap tahunnya bertambah karena kesalahan motif sekolah sebagai akibat dari perilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas kurang baik.

Memang, pada kenyataannya pendidikan kita saat ini masih sesuai untuk sebagian masyarakat kita yang kurang gizi, bermental moron dan miskin secara struktural. Namun sebagai sebuah strategi jangka panjang, dunia pendidikan kita sedang dalam tahap penghancuran terhadap dirinya sendiri. Kesalahan-kesalahan fundamental lebih disebabkan pada konsep dan visi mengenai pedidikan itu sendiri. Juga, pada apresiasi yang rendah terhadap pemahaman mengenai manusia dan kemanusiaan, dan ujungnya adalah praktik-praktik pendidikan normatif, tidak kreatif, tidak visioner dan sentralistik.  
Sadar atau tidak, menghujat produk pendidikan kita merupakan hal yang sia-sia. Walaupun sudah terlambat dan mengalami banyak kritik, pendekatan filsafat antropologi masih bisa diterapkan, yakni pendidikan kita seharusnya memuliakan manusia, bukan hanya memanusiakan manusia. Menjelajahi potensi manusia, menikmati kelebihan-kelebihannya, memuja keindahan manusia, nampaknya adalah kiat yang harus ditanamkan kepada para guru agar mereka lebih memberikan apresiasi terhadap murid-muridnya. Sehingga, bisa mendorong mereka untuk menjadi lebih kreatif dalam berinteraksi dengan murid-muridnya.

Perlukah sekolah mencetak output yakni siswa sebagai stakeholder sekolah menjadi manusia-manusia yang betul-betul siap menghadapi kehidupan masa kini dan masa depan? Jika kita sepakat maka tentunya kita tidak perlu mencari kambing hitam dalam kegagalan lembaga sekolah dalam mencetak manusia-manusia mandiri dan berdedikasi tinggi bagi agama, nusa dan bangsa. Secara otomatis, idealisme sekolah harus selalu dijaga, dipelihara, dihidupkan, dan ditumbuh-kembangkan demi terwujudnya sekolah yang ideal. Jadi haruskah sekolah dihapuskan? Penulis mencoba menganalisis secara kritis artikel "Buat Apa Sekolah?"

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan tersebut, maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah konsep sekolah yang sesungguhnya?

2. Mengapa perlu bersekolah?

3. Sekolah yang bagaimanakah yang dibutuhkan oleh anak?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan analisis kritis artikel ini adalah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca tentang tiga hal, yaitu: (1) konsep sekolah, (2) perlunya seseorang bersekolah, dan (3) bagaimana sekolah yang dibutuhkan oleh anak. 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Sekolah

“We don’t need now education
We don’t need now thought control
As a hazy in the classroom
Hey, teacher, leave us live alone”

Nukilan lirik lagu di atas berjudul Brick in the Wall yang diciptakan Pink Floyd, sebuah grup band super asal Inggris, pada tahun 1978. Lagu yang tergabung dalam album The Wall ini meledak di pasaran dan mendorong terjadinya perubahan dalam memaknai pendidikan yang sudah dikenal di Eropa dan Amerika Utara sejak sebelum Perang Dunia II. Perubahan radikal dalam konsep pendidikan ini menggerakkan negara-negara maju untuk mengembangkan pendidikan menjadi lebih tidak terbatas dan menampilkan pergeseran gaya hidup dari era industrialisasi menjadi era pascaindustrialisasi. 

Sehebat itukah pengaruh sebuah lagu sehingga dapat menggerakkan Presiden John F. Kennedy menata ulang format dan struktur pendidikan di Amerika Serikat? Tentu saja tidak. Pink Floyd secara cerdas menerjemahkan obsesi para pemikir pendidikan seperti Ivan Illich, Paulo Freire, dan kawan-kawan ke dalam bentuk yang lebih populer namun menghunjam tepat di jantung perubahan. Sebuah rezim pendidikan yang berpihak pada proses dehumanisasi telah ditumbangkan. 

Di Indonesia, gaya pendidikan yang sudah ditumbangkan itu, malah menjadi pedoman mutlak bagi seluruh unsur-unsur pendidikan di Indonesia. Sekolah hanya candu dan kerangkeng institusi yang mengekang kreativitas dan perkembangan individu, menjadikan mereka sama seperti hasil cetakan barang produksi pabrik. Sekolah adalah pelembagaan dan pelanggengan pola relasi kuasa yang ada. Sekolah dibuat untuk keperluan negara, bukan untuk mencerdaskan rakyat. Sekolah yang dibuat untuk semata keperluan negara, adalah sekolah-sekolah yang tidak mengenal keberagaman, tetapi keseragaman. Sekolah yang dibuat untuk keperluan negara bertujuan untuk mencetak pekerja, bukan untuk melatih anak menjadi orang dewasa. 

Apa sesungguhnya konsep dari pendidikan (dalam kata lain, sekolah)? Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Menurut Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (humanior). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan (Raga, http://gemapendidikan.com).

Banyak sekali kritikus pendidikan yang sangat menyayangkan kondisi buruk pendidikan karena ternyata sudah keluar dari jalur dan cita-cita aslinya. Konsep ”pembelajaran secara berproses” (sebutlah ”learning by process”) tidak mengenal kata akhir dalam pendidikan. Artinya, yang lebih kita perlukan adalah bagaimana proses untuk menciptakan manusia yang berkualitas dengan menjadikan pendidikan sebagai basis sosial pemenuhan kebutuhan bagi wawasan dan pengetahuan masyarakat. Kita sering berpikir bahwa manusia dalam hidupnya sering dikendalikan oleh dua faktor, yaitu genetik dan lingkungan. Tetapi, kita sering lupa bahwa faktor manusia juga sangat menentukan. Untuk itulah, pendidikan yang membebaskan adalah bagaimana melepaskan manusia dari ”terali besi” (iron cage) kebodohan yang ada dalam dirinya. Kualitas pendidikan lebih melihat kondisi (internal) manusia, daripada hanya terbelenggu oleh ukuran-ukuran kuantitatif dan formalistik (Escobar, dkk., 2001).

Dengan demikian, sekolah hendaknya mampu mengakomodir kebutuhan siswa, melihat potensi siswa dan mengembangkannya menjadi potensi yang teraktualisaikan. Sekolah harus menjadi akselerator untuk menyuburtumbuhkan beragam potensi siswa, sehingga dengan demikian siswa mampu mengarungi kehidupan ini dengan bekal keterampilan hidup yang dimilikinya ditambah dengan arahan dari sekolah. Dari sekolah model ini akan lahir manusia-manusia unggul yang semuanya mampu memancarkan potensinya dengan cemerlang. Karena sekali lagi, bukanlah siswa yang bodoh, tetapi yang ada hanyalah siswa yang lebih unggul di bidang yang berbeda.

2.2 Perlunya Bersekolah 

Sekolah diselenggarakan karena anak harus belajar. Untuk belajar diperlukan pengawas, yaitu guru. Kenapa tidak orang tua? Karena orang tua harus mencari uang untuk keperluan keluarga, sehingga harus ada orang yang dibayar untuk mengawasi proses anak belajar. Lalu kenapa harus di lembagakan dalam bangunan sekolah? Sebenarnya sebuah kamar juga bisa menjadi sekolah seperti model one-room school namun jumlah orang tua yang tidak sanggup mengajari sendiri anaknya semakin bertambah dan anak-anak yang datang ke sekolah semakin banyak, maka kelas pun bertambah dan jadilah sekolah! 

Lalu, kenapa anak perlu belajar? Manusia menurut historinya belajar secara informal melalui keluarga, alam dan lingkungannya. Lalu, kegiatan belajar mengajar melembaga menjadi sebuah badan nonformal karena adanya orang yang memiliki ilmu lebih daripada yang lainnya, yaitu guru, alim ulama, padhita, atau yang lainnya. Ilmu yang lebih itu kebanyakan adalah tentang pemahaman hidup atau nilai-nilai hidup. Sedangkan menurut UNESCO, ada empat pilar belajar yang dapat diperoleh anak melalui sekolah, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar berkembang utuh (learning to be), dan belajar untuk hidup bersama (learning to life together).

Lalu kenapa sekolah menjadi milik negara atau dikontrol negara? Barangkali karena pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan politik. Tetapi, dengan berubahnya status sekolah menjadi status milik negara, maka belajar di sekolah menjadi tidak menyenangkan. Karena, sekolah-sekolah di bawah pengelolaan negara menjadi seragam seluruh negeri. Bahkan yang dipelajari pun sama. 

Sekolah mengacaukan esensi belajar kata Ivan Illich dalam Deschooling Society (1971). Anak-anak dididik dengan ketidakjelasan apakah mereka belajar untuk sebuah nilai rapor atau belajar untuk mengetahui sesuatu, mahasiswa dibingungkan dengan tujuan akhir kuliah, apakah untuk mendapatkan gelar atau membuat mereka matang dalam keilmuannya (Susanto, http://www.cmm.or.id/).

Untuk menciptakan pendidikan yang revolusioner, kita bisa memakai pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi melalui interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid dengan guru. Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas, maka perlu perantaraan atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan (Bowles dan Herbert Gintis, 2001).

Jadi haruskah sekolah dihapuskan? Jawabannya tentu tidak. Tetapi yang harus diubah adalah esensi pengajaran dan pendidikan di dalam sekolah. Sekolah diselenggarakan untuk mendidik anak agar memahami kehidupan orang-orang di sekitarnya, agar anak-anak termotivasi belajar lanjut terhadap suatu ilmu yang ditekuninya. 

2.3 Sekolah yang Dibutuhkan Anak

Sebenarnya banyak sekali anak yang ingin menyampaikan pendapat mereka tentang “bagaimana cara seorang anak dapat belajar”. Sebagai seorang pelajar, merekapun ingin diberikan hak untuk berbicara dan didengarkan. Mereka ingin mengeluarkan pendapat mereka tentang apa saja hal yang mereka sukai dan apa saja hal yang tidak mereka sukai di dalam sebuah sekolah.

Mereka tidak ingin sekolah justru menjadi tempat yang sangat menakutkan bagi mereka atau siapapun yang berada di dalam lingkungan yang bernama “sekolah”. Di dalam kelas, terkadang sering terjadi diskriminatif, interaksi guru-murid lebih diwarnai oleh rasa takut. Ini menandakan pikiran masih terbelenggu. Dalam penguasaan bidang ilmu seolah-olah guru serba tahu secara mutlak. Ceramah merupakan metode yang lazim diterapkan. Murid-murid kurang terlibat secara aktif dan inilah penyebab suasana kelas dan suasana belajar menjadi serba membosankan. 

Hampir setiap hari banyak murid yang memboloskan diri, hanya karena takut disuruh maju ke depan kelas untuk menjawab sebuah pertanyaan, dan apabila mereka tidak dapat menjawabnya, mereka akan menjadi bahan lelucon lucu dan bahan tertawaan. Atau mereka justru akan mendapatkan hukuman, hanya karena tidak bisa menjawab pertanyaan. Saat ini masih banyak cara pengajaran yang dilakukan untuk menyerap ilmu, hanya dengan sekedar menyodorkan tugas-tugas hapalan untuk diuji. Sistem komunikasi dalam kelas cenderung satu arah dan murid lebih dominan bersikap pasrah kepada guru. Mengkritik guru atau beradu argumen seolah dipandang tabu. Mungkin selalu dibelenggu ketakutan karena berdampak pada ancaman pada nilai rapor. Semua ini terjadi begitu saja tanpa memikirkan, apa sebenarnya yang dirasakan dan yang diinginkan para anak didik.

Banyak di antara anak didik yang mengungkapkan, bahwa mereka ingin para guru juga dapat menghormati harga diri siswa, sensitif terhadap kondisi emosi mereka, memberi kebebasan mengekspresikan diri, dan bersikap adil pada semua anak apapun latar belakang, gender, kemampuan, dan ciri-ciri individual lainnya. Sebagian besar anak memimpikan guru-guru yang penyayang dan perhatian. 

Hendaknya melalui sekolah, anak dapat belajar yang memang ia rasa bermanfaat untuknya. Anak belajar tanpa beban, dengan ikhlas, tanpa ada sistem yang membelenggu kreativitasnya, dan ketika ia salah dalam proses belajarnya itu tidak ada mesin penghukum yang akan menghujat kesalahannya. Anak dapat belajar dari kesalahannya sendiri. Ia bebas berkreativitas. Ketika ia merasa lelah, ia sendiri yang belajar untuk memotivasi diri tanpa ada suara sumbang dari guru-guru yang merasa mereka paling benar. 

Dengan demikian, sekolah yang berwajahkan humanis adalah cita-cita dan harapan kita semua. Dalam tataran praktis, humanis mempunyai resiko ateis evolutif. Namun, dalam tataran reflektif, humanis akan memberikan hidayah bagi umat manusia dan menempatkan mereka pada posisi tercerahkan dengan ketauhidan hakiki kepada Sang Pencipta. Pendidikan yang humanis akankah hanya menjadi ilusi atau justru kenyataan bagi kehidupan kita? Mudah-mudahan yang terbaiklah yang akan kita rasakan nanti di kemudian hari.

BAB III
PENUTUP

Ada berbagai macam bentuk dan nama pendidikan, namun pada hakikatnya pendidikan adalah satu, yaitu mengembangkan semua potensi daya manusia menuju kedewasaan sehingga mampu hidup mandiri dan mampu pula mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan atau kebutuhan zamannya. Dengan kata lain, pendidikan adalah mengembangkan human dignity, yaitu harkat dan martabat manusia, atau humanizing human, yaitu memanusiakan manusia. Proses inilah disebut sebagai proses humanisasi. 

Dengan demikian, sekolah hendaknya mampu mengakomodir kebutuhan siswa, melihat potensi siswa dan mengembangkannya menjadi potensi yang teraktualisaikan. Sekolah harus menjadi akselerator untuk menyuburtumbuhkan beragam potensi siswa, sehingga dengan demikian siswa mampu mengarungi kehidupan ini dengan bekal keterampilan hidup yang dimilikinya ditambah dengan arahan dari sekolah. Dari sekolah model ini akan lahir manusia-manusia unggul yang semuanya mampu memancarkan potensinya dengan cemerlang. Karena sekali lagi, bukanlah siswa yang bodoh, tetapi yang ada hanyalah siswa yang lebih unggul di bidang yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Raga. 2010. Pendidikan yang Menggemaskan. http://gemapendidikan.com.
Escobar, M. dkk. 2001. Sekolah Kapitalisme yang Licik. Yogyakarta: LKiS.
Freire, Paulo. 2001. Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan, dalam Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gobai, Yosep. 2005. Buat Apa Sekolah. http://jurnal.pendidikan.net/
Samuel Bowles dan Herbert Gintis. 2001. Pendidikan Revolusioner dalam Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susanto, Happy. 2004. Menuju Pendidikan yang Humanis. http://www.cmm.or.id/.
Tarmidi. 2005. Sekolah Hari Ini. http://jurnal.pendidikan.net/
Qodri A. Azizy. 2003. Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: Aneka Ilmu.


Share:

1 komentar :

  1. Agen Bola Online & Casino Online Terpercaya
    1 USER ID UNTUK SEMUA PERMAINAN !!!
    Casinobet77 Menyediakan Permainan Terbaru & Terbaik
    Livecasino | Bolaonline | Sabungayam | PokerDomino | SpadeGaming | SlotGame | Tangkas | BatuGoncang | Jdb168 SlotGame | NumberGame Lottery
    -----------------------------------------------------------------------
    - Bonus Deposit MEMBER BARU Sportbook 100%
    - Bonus Deposit 30% Khusus Permainan Sportbook
    - Bonus Deposit 10% Setiap Hari Untuk Semua Game
    - Bonus Deposit Setiap hari 5rb - 25rb
    - Bonus Casino Rollingan 0.8% Setiap Hari Senin
    - Bonus Rollingan Poker & domino 0,3%
    - Bonus Cashback Game & Tangkas 5%
    - Bonus Cashback Sportbook 5%
    - Bonus Cashback Sabungayam 5%
    - Bonus Referall 2% Semua Game
    - Bonus Referall 1% dari member Togel
    Contact Us Now :
    Livechat Casinobet77
    whatsapp : +85599495431
    PIN BBM : D6235F1C
    Wechat : casinobet77cs1
    Line : casinobet77
    skype : casinobet77
    Link pendaftaran :lc.chat/now/8523001/

    BalasHapus