20 Maret 2014

Sertifikasi Guru Versus Kualitas Guru

Sertifikasi guru merupakan amanat dari Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005. Tujuannya adalah untuk membentuk guru profesional sehingga kualitas pendidikan menjadi meningkat. Implikasi guru profesional ini salah satunya adalah perolehan tunjangan profesi pendidik (TPP) yang besarnya satu kali gaji pokok. Semestinya, guru memiliki kesadaran bahwa pemberian TPP ini hanyalah suatu dampak dari predikat guru profesional yang disandangnya, bukan tujuan akhir dari sertifikasi. 

Kenyataannya, mayoritas guru berasumsi bahwa dengan mengikuti sertifikasi maka berdampak pada peningkatan kesejahteraan melalui TPP sehingga hakikat guru profesional menjadi terlupakan. Semestinya, guru yang menyandang predikat guru profesional dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kualitas pendidikan karena guru merupakan ujung tombak pendidikan. Baik atau buruk, maju atau mundurnya kualitas pendidikan suatu bangsa tergantung pada guru. 

Pertanyaan yang muncul sehubungan dengan sertifikasi guru adalah apakah sertifikasi itu sendiri dapat menjamin guru bekerja secara profesional? Pekerjaan guru tidak hanya mengajar di dalam kelas semata namun guru juga dituntut untuk melakukan penelitian, menulis artikel, menulis buku, membuat karya inovatif, dan publikasi karya ilmiah. TPP diberikan untuk peningkatan profesi. Yang terjadi tidak demikian. Ketika guru memperoleh TPP, guru cenderung bersikap konsumtif sehingga TPP yang seharusnya dapat digunakan untuk pengembangan profesi malah lebih banyak digunakan untuk keperluan yang tidak ada hubungannya dengan profesi yang ia sandang. 

Jika pun ada guru yang menyisihkan TPP untuk hal-hal yang berhubungan dengan tugasnya, seperti membeli buku bacaan untuk mengupgrade pengetahuannya, mengikuti seminar pendidikan, menciptakan alat peraga dan karya inovatif yang tepat guna, menulis buku, bahkan meningkatkan kualitas pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya segelintir saja yang melakukannya.

Jelasnya, jika dihubungkan dengan hirarki kebutuhan Maslow, bisa dikatakan guru yang cenderung bersikap konsumtif ketika memperoleh TPP termotivasi memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling dasar dan paling bawah, yaitu kebutuhan fisiologi. Hirarki paling puncak dalam teori Maslow yang terkenal ini adalah kebutuhan aktualisasi diri (self actualization) yaitu menggunakan kemampuan, skill, dan potensi. Masih ada 4 hirarki lagi yang mesti dicapai oleh guru model konsumtif ini. 

Permasalahan sertifikasi guru menjadi sangat pelik dan kompleks tatkala pemerintah tidak melakukan monitoring dan evaluasi. Di negara maju, lisensi mengajar yang dimiliki guru tidak diberlakukan seumur hidup. Di US misalnya, guru harus memiliki lisensi mengajar yang dikeluarkan oleh National Board for Professional Teaching Standards. Lisensi ini harus diperbarui setiap 5 tahun. Guru harus berpendidikan minimal S-1 di bidang mata pelajaran yang diajarkan dan menguasai metode pembelajaran. Pembaruan lisensi dimaksudkan agar guru selalu mengikuti perkembangan dan menambah pengetahuannya. Ia harus mengambil kursus di perguruan tinggi yang mencapai 180 poin, atau ekivalen dengan 6 kredit. 

Bagaimana dengan guru di Indonesia? Di Indonesia, mulai dari guru memegang sertifikat pendidik untuk pertama kalinya hingga guru tersebut masuk ke liang lahat pun, sertifikat pendidiknya tidak pernah diperbaharui. Akibatnya, kualitas guru, kalau tidak boleh dikatakan rendah, ya biasa-biasa saja. Padahal, menurut data Human Development Index tahun lalu, kualitas SDM Indonesia menempati peringkat ke -121 dari 185 negara. 

Jadi, sudah seharusnya guru mengubah sikap dan perilakunya. Karena sesungguhnya guru adalah agen of change untuk lingkungannya. Meskipun tidak melakukan hal-hal besar, setidaknya guru memiliki keinginan untuk melakukan hal-hal kecil yang nyata dan bermanfaat. Guru mau mengupgrade pengetahuan, gemar membaca, dan melek terhadap teknologi dan informasi (bukan sekedar pandai up date status di media sosial saja loh yaaa).

Tulisan ini bukanlah hendak menggurui para guru. Bukan juga bentuk satire apalagi sarkasme. Tulisan ini ditulis sebagai bahan renungan, introspeksi, dan muhasabah untuk kita semua. Kita itu adalah orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Kita itu termasuk diri saya sendiri, sebagai pembuat tulisan ini. Jika ada yang tersinggung berarti telah melakukan introspeksi dengan sendirinya. Semoga tulisan ini bermanfaat. 
Share:

15 Februari 2014

Mendidik melalui Cerita Kyoiku Mama: Suatu Renungan

Suatu kali, aku bertanya pada murid-murid perempuan di kelasku. Apakah kelak mereka ingin bekerja di luar rumah atau menjadi Ibu Rumah Tangga sepenuhnya. Aku terdiam cukup lama dengan jawaban yang mereka berikan. Mayoritas jawaban mereka serupa. “Saya tidak ingin menjadi Ibu rumah tangga”. 

Anak-anak ini, baru menginjak kelas V Sekolah Dasar namun telah dijejali oleh pemikiran sekuler dengan prinsip emansipasi yang menyimpang. Dalam anggapan mereka, menjadi Ibu rumah tangga itu tak ada gunanya. Perempuan perlu berkiprah dan berkarir di luar rumah agar statusnya sederajat dengan kaum Adam. Sungguh mengerikan pengaruh pemikiran sekuler, liberal, dan hedonis telah merasuk ke pikiran anak-anak SD. 

Lantas, aku bercerita kepada murid-muridku tentang Kyoiku Mama. Kyoiku Mama yang berasal dari Jepang ini merupakan ibu rumah tangga yang tidak pernah berhenti mendorong anak-anaknya untuk belajar sekaligus menciptakan keseimbangan pendidikan baik dalam hal fisik, emosional, maupun sosial. Kyoiku Mama mengajarkan disiplin, pengorbanan, kerja sama, dan kesederhanaan di rumah, sehingga di sekolah, yang mengajarkan hal-hal akademis, tidak direpotkan lagi dengan masalah-masalah perilaku anak murid karena nilai-nilai luhur telah melebur dalam karakter setiap siswa sejak dari rumah.

Mayoritas Kyoiku Mama adalah wanita berpendidikan sarjana dan pascasarjana. Dari tangan mereka dihasilkan generasi Jepang yang berkarakter dan menjadi kunci melesatnya kemajuan bangsa Jepang. Kyoiku Mama berpendidikan tinggi bukan untuk berkarir melainkan untuk mendidik anak-anak mereka di rumah. Bagi mereka mendidik anak adalah karir tertinggi bagi seorang wanita. 

Mudah-mudahan, anak-anak kita dihindarkan dari pemikiran sekuler, liberal, dan sikap hedonisme. Bagimu wahai para guru, jangan hanya terfokus mengajar hal-hal yang bersifat akademis semata namun didiklah anak-anak di dalam kelas melalui cerita yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.
#mendidikmelaluicerita
Share: