13 Juni 2012

Menumbuhkan Sikap Apresiatif Siswa terhadap Sastra Riau


1. Pendahuluan

Banyak pengamat menilai pengajaran apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan membosankan. Siswa tidak diajak untuk menjelajahi dan mengapresiasi keagungan nilai yang terkandung dalam teks sastra, tetapi sekadar dicekoki dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoretis dan hafalan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pengajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga siswa gagal mengapresiasi kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah mematikan proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa. 

Tidak hanya itu, siswa-siswa di Indonesia mengalami nol membaca sastra. Hal tersebut juga terjadi pada siswa-siswa di Riau. Sebagai lanjutan dari tradisi sastra Melayu, sastra Riau tidak banyak dikenal oleh siswa. Siswa kurang mengenal sastra Melayu seperti nazam, zikir, teromba, talibun, dan berbagai sastra Melayu lainnya. Sastra pada dasarnya adalah ungkapan sastrawan hasil pengalaman dan penghayatannya terhadap kehidupan. Oleh karena itu, dalam sastra terkandung pandangan, penilaian, dan penafsiran sastrawan tentang kehidupan. Dengan ciri khas yang terdapat pada sastra tersebut, sudah seharusnya pembelajaran sastra diarahkan untuk menumbuhkan sikap apresiasi sehingga siswa akan merasakan banyak manfaat ketika bersentuhan dengan sastra, terutama sastra Riau.

Ada berbagai permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran sastra Riau. Permasalahan tersebut antara lain adalah buku-buku sastra Riau dicetak dan diterbitkan dalam jumlah yang terbatas dan tidak tersebar, guru kurang memiliki kapabilitas dan kemampuan yang memadai untuk mendampingi siswanya mengapresiasi sastra Riau, dan alokasi waktu yang tidak cukup untuk belajar sastra Riau.

Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra Riau di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Pembelajaran sastra tidak berpihak pada pengalaman sastra karena guru hanya menggunakan metode pembelajaran konvensional yang hasilnya tidak menumbuhkan minat siswa untuk membaca karya sastra Riau. Tujuan akhir pembelajaran sastra Riau adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan apresiasi sastra Riau pada siswa. Tulisan ini mencoba mengulas secara ringkas akibat yang muncul dari berbagai faktor di atas beserta alternatif pemecahan. Hal ini dimaksudkan untuk peningkatan kualitas pengajaran sastra Riau di lembaga pendidikan formal pada masa yang akan datang. 

2. Mengalami Sastra Riau sebagai Pendekatan Awal

2.1 Tujuan Pembelajaran Sastra Riau

Beranjak dari berbagai permasalahan yang telah dikemukakan, ada beberapa hal perlu dicermati ulang dalam pembelajaran sastra, khususnya sastra Riau di sekolah dengan menggunakan acuan kurikulum yang diberlakukan saat ini. Dalam kurikulum yang berlakukan di SD, SLTP, ataupun SMU disebutkan bahwa pengajaran sastra dalam diarahkan pada penumbuhan apresiasi sastra para siswa sesuai dengan tingkat kematangan emosionalnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sastra idealnya diarahkan pada penumbuhan apresiasi pada siswa. 

Apresiasi merupakan aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat reseptif. Tetapi, yang lebih penting, apresiasi juga bersifat produktif. Dengan demikian, pengajaran sastra Riau di lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa. Pengajaran sastra Riau harus diarahkan pada kegiatan membaca karya sastra Riau, siswa akrab dan menghargai karya sastra Riau sehingga siswa benar-benar mengalami sastra Riau tersebut. Tidak hanya berfokus pada siswa, kegiatan ini juga bertujuan agar guru memiliki kemampuan dan kapabilitas yang memadai untuk mendampingi siswa mengalami sastra Riau.

2.2 Alternatif dalam Pengajaran Sastra Riau

Secara implisit telah dijelaskan bahwa sastra bukanlah dunia ilmiah yang memiliki garis batas seperti ilmu eksakta. Pembelajaran sastra mengandalkan kemampuan intuitif, imajinatif, dan daya kreatif. Untuk mengajarkan siswa agar mengalami sastra Riau, ada dua alternatif yang mungkin dapat dipilih. 

Pertama, secara personal guru harus menyadarkan diri sendiri bahwa secara sadar sudah memilih profesi guru sebagai pekerjaan. Sebagai seorang guru seharusnya kita mengetahui lebih banyak daripada murid atau subjek ajar. Penyadaran diri ini memacu kita untuk menambah wawasan dan keterampilan dalam bidang yang kita ajarkan secara otodidak. 

Kedua, guru berperan sebagai organisator dan fasilitator dalam pembelajaran, sedangkan nara sumber bagi anak didatangkan dari luar. Guru dapat mengundang atau mengajak sastrawan ke sekolah pada waktu tertentu. Bila perlu dan memungkinkan sekali, siswa dibawa langsung ke tempat pagelaran sastra. Kesempatan ini dapat digunakan juga untuk berdialog secara langsung dengan sastrawan sehingga secara tidak langsung menumbuhkan kemampuan apresiasi sastra siswa melalui kegiatan yang lebih bersifat produktif.

Keterbatasan buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra Riau di sekolah menyebabkan pelaksanaan pembelajaran sastra Riau menjadi tidak berimbang dengan aspek bahasa. Dalam kurikulum yang sudah disempurnakan saat ini pun materi ajar sastra masih terintegrasi dengan materi kebahasaan karena pelajaran khusus yang bernama sastra tidak ada. Melalui pendekatan integratif yang dikembangkan saat ini, materi ajar sastra Riau dapat digunakan untuk mengajarkan materi kebahasaan dalam berbagai aspeknya kepada siswa. 

Kendala keterbatasan buku dan bahan penunjang pembelajaran sastra Riau yang dikeluhkan selama ini dapat ditanggulangi melalui beberapa cara. Pemanfaatan media cetak, seperti koran harian, mingguan, dan majalah yang memuat karya sastra. Sekolah dapat berlangganan secara rutin koran atau majalah tertentu sesuai dengan kemampuan dana sekolah. 

Bila tidak memungkinkan, guru atau pihak sekolah membeli koran atau majalah tertentu pada hari, minggu, atau bulan tertentu sesuai dengan keperluan. Bila hal ini juga tidak memungkinkan, guru menugasi siswa untuk mencari secara personal atau kelompok teks sastra Riau yang dipublikasikan di media cetak sesuai dengan topik yang diajarkan. Untuk publikasi lokal, harian Riau Pos edisi Ahad dan majalah Sagang merupakan dua media yang dapat digunakan untuk itu.

Alternatif lain yang dapat digunakan ialah pemanfaatan tradisi lisan yang masih berkembang dalam masyarakat Riau. Dalam hal ini, guru meminta siswa untuk membuat rekaman (kaset atau tertulis) folklor sastra Riau yang masih terdapat pada masyarakat di sekitarnya. Selain itu, tradisi sastra lokal, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, drama, dan sebagainya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran bagi siswa melalui pemberian tugas secara personal ataupun kelompok.

Selain faktor guru dan keterbatasan buku, faktor minat belajar memang merupakan kendala lain yang sangat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran sastra Riau di sekolah. Masalah minat ini sangat personal sifatnya sehingga pola penanganannya pun sangat bervariasi. Hasil pengamatan dan wawancara dengan rekan-rekan guru menunjukkan bahwa selama ini pembelajaran sastra cenderung bersifat teoretis. Hal ini berhubungan dengan berbagai faktor lain, termasuk faktor kemampuan guru dan fasilitas belajar. 

Kurikulum tidak menuntut pemberlakuan satu metode tertentu dalam pembelajaran sastra. Kurikulum malah memberikan kesempatan pada guru untuk menggunakan berbagai metode secara bervariasi dalam penyajian materi tertentu sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai. Karenanya, orientasi pada pengajaran konsep teori sastra dan sejarah sastra tampaknya sudah saatnya dikurangi. Yang lebih dipentingkan saat ini tampaknya adalah pengakraban siswa dengan karya sastra Riau sehingga mereka menemukan kesenangan personal dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan teks sastra Riau. 

Paling tidak, ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk pembelajaran sastra Riau, yaitu: (a) strategi strata, (b) strategi induktif model taba, dan (c) strategi analisis. Dalam pembelajaran sastra Riau dengan strata, pembelajaran harus melalui tiga tahapan. Dimulai dari tahap penjelajahan, interpretasi, kemudian rekreasi. Dengan strategi induktif model taba, pembelajaran sastra Riau juga melalui tiga tahap, yaitu tahap pembentukan konsep, tahap penafsiran, dan tahap penerapan prinsip. Strategi analisis merupakan strategi pembelajaran sastra yang sering diterapkan guru. Dengan strategi ini, siswa diajak untuk menelaah unsur karya sastra. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa dengan strategi analisis ini pembelajaran sastra Riau tidak terfokus pada upaya membedah unsurnya saja melainkan semua unsur tersebut harus dikembalikan secara relasional sebagai pembentuk makna yang seutuhnya.

Hal lain yang erat sekali hubungannya dengan pendekatan atau metode pembelajaran sastra, khususnya sastra Riau adalah penggunaan teknik evaluasi. Kenyataan menunjukkan evalusi pembelajaran sastra Riau lebih diarahkan pada penguasaan teori dan sejarah sastra Riau saja. Soal-soal yang dibuat guru ataupun soal standar nasional yang hanya menuntut penguasaan kognitif saja dan belum berorientasi sepenuhnya pada evaluasi yang bersifat apresiatif. 

Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya beranjak dari hakikat karya sastra sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi siswa yang beragam, berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Tidaklah keliru jika Suharianto (dalam Jamaluddin:89) mengatakan dengan nada pesimis bahwa bila evaluasi yang diberikan tetap sama seperti tahun-tahun lalu, tujuan pembinaan apresiasi siswa tetap hanya akan merupakan impian belaka. Oleh karena itu, sudah seharusnya pola pembelajaran dan sistem evaluasi harus berjalanan seiringan dan mengacu pada pembinaan apresiasi siswa terhadap sastra, khususnya sastra Riau.

3. Penutup

Masih banyak yang harus dibenahi jika ingin mendampingi siswa untuk mengalami sastra Riau. Selama ini, tatkala kita berbicara tentang kegagalan pembelajaran sastra pada umumnya, gurulah yang dijadikan sebagai pihak yang dipersalahkan. Sementara, para guru sendiri mengeluhkan berbagai permasalahan yang mereka hadapi tatkala melaksanakan pembelajaran sastra yang menjadikan mereka tidak dapat melaksanakan pembelajaran sastra seperti yang dicita-citakan.

Bermula dari hal-hal yang sederhana, guru sastra dapat membangun kepercayaan dirinya untuk mulai mengajarkan sastra Riau sehingga siswa mengalami sastra Riau itu sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap apresiatif siswa dan bangga terhadap karya sastra Riau. Dengan demikian, Riau yang terkenal dengan negeri pujangga mampu mengangkat karya sastra pujangganya menjadi puncak kesastraan nasional bahkan regional.
Share: