Survei PISA (The Programme for International Student Assessment) tahun 2009 dan 2012 menunjukkan kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat bawah. Pada tahun 2015, kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat 61 dari 69 negara. Tidak berlebihan pula, Kemdikbud mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) untuk mengatasi rendahnya kemampuan membaca siswa Indonesia.
GLS bertujuan untuk menumbuhkembangkan budaya literasi membaca dan menulis siswa serta menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menyediakan berbagai sumber bacaan agar peserta didik menjadi generasi pembelajar sepanjang hayat.
Pergeseran kemajuan zaman dari era cetak ke era digital memiliki dampak yang cukup besar terhadap minat baca siswa. Kemajuan teknologi pula yang mengubah kebiasaan membaca, dari membaca buku menjadi membaca daring melalui perangkat gawai.
Sekarang, banyak siswa kurang menunjukkan minat terhadap buku bacaan. Perpustakaan yang seharusnya menjadi sumber ragam bacaan bagi siswa cenderung sepi dari pengunjung. Bahkan, tak jarang perpustakaan di sekolah berubah fungsi menjadi ruangan lain. Buku-buku bertumpuk tak terawat, dipenuhi oleh debu. Jangankan membaca, menjamahnya pun kita enggan.
Padahal, perubahan kurikulum menghendaki agar siswa memiliki high thinking order. Mustahil siswa mampu mengelola pengetahuannya tanpa buku sebagai sumber rujukan. Akibatnya, meski kurikulum telah berganti, model pembelajaran masih tetap konvensional karena guru menjadi satu-satunya sumber pengetahuan.
Salah satu hal yang dapat merangsang minat siswa dalam membaca adalah dengan model pembiasaan yang ditunjukkan oleh guru. Sungguh hal yang aneh jika guru memiliki ekspektasi tinggi terhadap kemampuan dan minat baca siswa, sementara guru sendiri jarang membaca. Sudahkah kita menjadi role model membaca bagi siswa?
~secangkir kopi petang~
GLS bertujuan untuk menumbuhkembangkan budaya literasi membaca dan menulis siswa serta menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menyediakan berbagai sumber bacaan agar peserta didik menjadi generasi pembelajar sepanjang hayat.
Pergeseran kemajuan zaman dari era cetak ke era digital memiliki dampak yang cukup besar terhadap minat baca siswa. Kemajuan teknologi pula yang mengubah kebiasaan membaca, dari membaca buku menjadi membaca daring melalui perangkat gawai.
Sekarang, banyak siswa kurang menunjukkan minat terhadap buku bacaan. Perpustakaan yang seharusnya menjadi sumber ragam bacaan bagi siswa cenderung sepi dari pengunjung. Bahkan, tak jarang perpustakaan di sekolah berubah fungsi menjadi ruangan lain. Buku-buku bertumpuk tak terawat, dipenuhi oleh debu. Jangankan membaca, menjamahnya pun kita enggan.
Padahal, perubahan kurikulum menghendaki agar siswa memiliki high thinking order. Mustahil siswa mampu mengelola pengetahuannya tanpa buku sebagai sumber rujukan. Akibatnya, meski kurikulum telah berganti, model pembelajaran masih tetap konvensional karena guru menjadi satu-satunya sumber pengetahuan.
Salah satu hal yang dapat merangsang minat siswa dalam membaca adalah dengan model pembiasaan yang ditunjukkan oleh guru. Sungguh hal yang aneh jika guru memiliki ekspektasi tinggi terhadap kemampuan dan minat baca siswa, sementara guru sendiri jarang membaca. Sudahkah kita menjadi role model membaca bagi siswa?
~secangkir kopi petang~