Mak Ais panggilannya. Berusia sekitar enam puluh tahunan. Tinggal sendiri tanpa ada yang tahu kemana anggota keluarganya. Sudah berpuluh tahun ia mendiami gubuk kecil di sekitar perkebunan sawit. Beruntung pemilik kebun berbaik hati telah mengizinkannya membangun gubuk sebagai tempat berteduh.
Tangan Mak Ais penuh guratan kasar. Menandakan seorang pekerja keras. Wajah tuanya terlihat lelah karena menanggung beban hidup yang berat. Pernah aku bertanya tentang keluarganya. Ia menolak memberitahu. Aku merasa hatinya penuh getir dan luka.
Yang aku tahu, saban tahun menjelang lebaran, ia bekerja lebih keras dari biasanya. Ia bertanam sayur pada sepetak kecil tanah di samping gubuk. Kadang kala meraut lidi daun kelapa sawit untuk dijadikan sapu. Kemudian, hasil panen sayur dan sapu lidi dijual ke pasar.
Sebelum mudik, aku sempatkan mampir ke gubuk Mak Ais dan membawakannya sekarung beras zakat fitrah. Saat itu ia sedang meraut daun kelapa. Barangkali untuk persiapan ketupat lebaran.
Ia bercerita panjang. Setiap menjelang lebaran Idul Fitri selalu membuat ketupat. Menyisihkan receh demi receh untuk membeli daging. Katanya daging tersebut akan direndang. Agaknya Mak Ais berasal dari Sumatra. Barangkali keturunan suku Padang atau Melayu Riau. Setahuku, orang Padang dan Melayu gemar memasak rendang saat menyambut lebaran.
Ternyata, ketupat lebaran dan rendang dipersiapkan untuk menyambut kedatangan anak dan cucunya. Akan tetapi, sudah hampir lima belas tahun anak dan cucu tak pernah muncul.
Sedihnya lagi, meski tak pernah kedatangan sanak saudara di hari lebaran, Mak Ais tak pernah absen menyiapkan ketupat dan rendang. Ia berharap, suatu waktu, pada hari lebaran anak dan cucu datang berkunjung.
Dari sudut matanya, aku melihat tetes air mengalir. Jatuh ke tumpukan dedaunan kelapa yang belum sempat dianyam menjadi ketupat. Tahun ini lebaran Mak Ais masih sama getirnya seperti tahun-tahun lalu. Langit Samarinda seakan-akan merasakan kepiluannya. Gelap dan mendung. Tak lama, bulir air tercurah dengan deras. Aku berjalan gontai dalam derai hujan senja hari.
~Priya Himba, 4 Syawal 1438
repost by lembayungmerahsenja
Photo Credit: warung apung